Sejarah Pantun
Pantun merupakan sastra lisan yang
dibukukan pertama kali oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang
sastrawan yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji. Antologi
pantun yang pertama itu berjudul Perhimpunan Pantun-pantun melayu. Genre pantun
merupakan genre yang paling bertahan lama. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang
sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa minangkabau yang berarti
"petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa sunda dikenal sebagai PAPARIKAN dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya
pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap
baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan
pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya
merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua
bentuk pantun terdiri atas dua bagian: SAMPIRAN dan ISI.
Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan
budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan
bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua
baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Abdul Rani (2006:23) mengatakan bahwa
ciri-ciri pantun sebagai berikut:
- Terdiri atas empat baris.
- Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku kata
- Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi maksud si pemantun. Bagian ini disebut isi pantun.
Pantun mementingkan rima akhir dan
rumus rima itu disebut dengan abjad /ab-ab/. Maksudnya, bunyi akhir
baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan baris kedua sama dengan
baris keempat.
Pada mulanya pantun merupakan
senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan (Fang, 1993: 195). Pantun pertama
kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular yang
sezaman dan disisipkan dalam syair-syair seperti Syair Ken Tambuhan.
Pantun dianggap sebagai bentuk karma dari kata Jawa Parik yang berarti pari,
artinya paribahasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga
berdekatan dengan umpama atau seloka yang berasal dari India. Dr. R.
Brandstetter mengatakan bahwa kata pantun berasal dari akar kata tun, yang
terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga,
tuntun yang berarti teratur, dalam bahasa Tagalog ada tonton yang
berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa kuno, tuntun
yang berarti benang atau atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang
berarti memimpin; dalam bahasa Toba pula ada kata pantun yang berarti kesopanan,
kehormatan.
Van Ophuysen dalam Hamidy (1983: 69) menduga pantun itu berasal dari bahasa
daun-daun, setelah dia melihat ende-ende Mandailing dengan mempergunakan
daun-daun untuk menulis surat-menyurat dalam percintaan. Menurut kebiasaan
orang Melayu di Sibolga dijumpainya kebiasaan seorang suami memberikan ikan
belanak kepada istrinya, dengan harapan agar istrinya itu beranak. Sedangkan R.
J. Wilkinson dan R. O. Winsted dalam Hamidy (1983:69) menyatakan keberatan
mengenai asal mula pantun seperti dugaan Ophuysen itu. Dalam bukunya “Malay
Literature” pertama terbit tahun 1907, Wilkinson malah balik bertanya,
‘tidakkah hal itu harus dianggap sebaliknya?’. Jadi bukan
pantun yang berasal dari bahasa daun-daun, tetapi bahasa daun-daunlah yang
berasal dari pantun.
Zaman
dahulu pantun menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat,
khususnya masyarakat Melayu. Pantun banyak digunakan dalam permainan
kanak-kanak, dalam percintaan, upacara peminangan dan pernikahan, nyanyian, dan
upacara adat. Secara umum setiap tahap kehidupan masyarakat Melayu dihiasi oleh
pantun.
Terima Kasih^_^
Komentar
Posting Komentar